Medusa
(Μέδουσα ) merupakan
tokoh wanita berambut ular, berparas menyeramkan dalam mitologi Yunani (diyakini
juga sebagai simbologi Mason), yang membuat orang menjadi batu jika menatap
wajahnya.
Hampir
ribuan abad lamanya, interpretasi kejahatan dalam simbol miotologi Medusa masih
menjadi preseden buruk dalam masyarakat Eropa, akan tetapi, di era ’60-an,
berawal dari gerakan para kaum wanita, yang mengatasnamakan gerakan
pembebasan-gerakan Gender- yang terlatar belakangi oleh perlakuan diskriminitif
oleh kaum Adam (Patriarki) yang selalu mengekang dan mendominasi kaum perempuan
atas nama nature (kodrat alam) dan atas nama ketaatan religiusitas, yang
terjadi sepanjang rentang sejarah dalam kehidupan di Eropa (Barat). Hal ini
kemudian memaksa pena dan tinta para feminis Barat bergerak seiring gerakan
langkah kaki dan suara yang mengisi ruang-ruang seminar dan jalanan-jalanan di
Eropa. Hanya satu yang mereka perjuangakan, yaitu kesetaraan dan keadilan
Gender. Medusa, yang awalnya disimbolkan sebagai wujud kejahatan dan kegelapan
mengalami reintepretasi secara signifikan. Adalah Andrea Juno dan V. Vale,
menerbitkan sebuah buku yang berjudul Angry Women, bersampul simbologi
Medusa. Ditangan keduanya, simbol kejahatan yang ternisbahkan pada
Medusa berubah makna menjadi simbol kemarahan dan perlawanan (Rebellion)
kaum feminis terhadap kaum Laki-laki. Gerakan-gerakan kaum feminis -dalam frame
Medusa- berupaya menghipnotis dan membunuh hegemoni dan otoritas kaum laki-laki
atas perempuan di Barat terus berlanjut. Kritikan-kritikan tajam kaum feminis
bukan saja menyerang kaum laki-laki, bahkan kaum Hawa yang menentang ide para
feminis sendiri pun tak luput dari tebasan logika mereka. Seperti Germaine
Greer, seorang Feminis tahun ’70-an, menegaskan “Hanya ada dua jenis wanita di
dunia ini, yaitu kalau bukan feminis berarti kaum Masokhis.” Berbeda dengan
Greer, Cassie E. Carter, mengubah bait puisi In Memoriam, karya Alfred
L. Tennyson, “Nature, red in tooth and claw” menjadi “ Woman, red in
tooth and claw.” Betty Friedan,
seorang tokoh feminis, pendiri Organisasi Wanita Nasional Amerika (NOW), dalam
bukunya yang berjudul The Feminine Mystique, menguraikan kehidupan
“menyedihkan” kaum wanita Amerika yang dituntut untuk memenuhi peranannya hanya
memenuhi kebutuhan suami dan anak-anak. Dan, sederetan nama-nama besar kaum
feminis yang mengekspresikan kemarahan a la Medusa untuk mematungkan
hegemoni peran sosial kaum Adam terhadap kaum perempuan.
Menurut
Ratna Megawangi, dalam pengantar buku Danielle Crittenden, mengemukakan
bahwa, Bagi kaum Feminis, budaya
patriarki bukanlah wujud nature (kodrat alam) tapi merupakan nurture (norma budaya) yang
telah terkonstruk berabad-abad silam kemudian terlembagakan dalam pranata
sosial. Asumsi demikian mendorong kaum feminis Barat meyakini bahwa peran
gender bisa saja diubah melalui transformasi sosial. Danielle Crittenden, dalam
bukunya yang berjudul, What Our Mothers Didn’t Tell Us: Why Happiness Eludes
the Modern Women, menguraikan keberhasilan kaum feminis Barat yang telah
berhasil melakukan transformasi sosial, dimana, budaya Patriarkat telah
mengalami pergesaran ke budaya egaliter (Modernisme).
Saat
ini, perjuangan kaum feminis Barat terbilang telah berhasil, meskipun masih ada
kritikan-kritikan para anti-feminis, seperti Danielle Critteinden, Midge
Decter, Christina Hoff Sommers, dan masih banyak lagi. Namun, gagasan-gagasan
kesetaraan Gender yang termasturbasi dari pemikiran kaum feminis Barat, kini
telah mengglobal, melintasi batas-batas Negara dan benua. Dan, alangkah
lucunya, ide-ide itu kini terlabuh dan terdengar nyaring di negeri-negeri kaum
muslimin, salah satunya adalah negeri kita ini, Indonesia, yang secara historical
tidak memiliki problematika konstelasi kehidupan keluarga yang serupa dengan
Barat. Lakonan kemarahan a la Medusa menghantar para aktivis feminis
men-tasyabbuhi nalar para feminis Barat. Menggugat sistem pranata sosial
dan teks-teks kitab Suci. Tahun 2004, Pusat Studi Wanita UIN Yogyakarta.
Menerbitkan buku berjudul, Isu-Isu Gender dalam Kurikulum Pendidikan Dasar
dan Menengah, terkemukakan bahwa “Sudah menjadi keprihatinan bersama bahwa
kedudukan kaum perempuan dalam sejarah peradaban dunia, secara umum, dan
peradaban Islam, secara khusus, telah dan sedang mengalami penindasan. Mereka
tertindas oleh sebuah rezim laki-laki…”
Bahkan lebih dari itu, para aktivis KKG, seperti
Prof. Musdah Mulia dan Gadis Arivia, secara terang-terangan mendukung perilaku Lesbianisme
dan Homonisme yang secara jelas bertentangan dengan Aqidah Islam, norma budaya
Indonesia dan fitrawi normalitas manusia, sebagaimana yang dikutip Ustadz Adian
Husaini, dalam Makalah yang disampaikan dalam acara Rakorda Majelis Ulama
se-Jawa dan Lampung di Banten, 2009. Sebuah gagasan yang berani namun
kebablasan. Bahkan lebih jauh lagi, saat para aktivis KKG, saat ini sedang
berupaya melegalkan Undang-Undang Kesetaraan dan Keadilan Gender. 50:50,
mungkingkah?
Berbeda
dengan Barat –yang terbentuk dalam kungkungan worldview materialistik-
Islam memiliki cara pandang tersendiri dalam menempatkan perempuan dalam sistem
kehidupan sosial maupun kehidupan keluarga. Henri Shalahuddin, peneliti INSISTS
yang concern dalam masalah Gender, dalam artikelnya yang berjudul Di
Balik Politik Kesetaraan Gender, mengemukakan bahwa, Islam datang untuk membebaskan perempuan dari
belenggu ketidakadilan, eksploitasi, marjinalisasi dan diskriminasi.
"Barangsiapa yang mengerjakan
amal-amal saleh, baik laki-laki maupun wanita sedang ia orang yang beriman, maka
mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya sedikitpun" (QS. 4:124).
Lebih lanjut, beliau mengutip
perkataan Imam Ibn Rusyd (595H/1198M) dalam kitabnya Bidayatul Mujtahid,
menjelaskan: "Laki-laki dan perempuan
itu setara, karena pada awalnya hukum keduanya adalah satu, sampai ditetapkannya
pengecualian syar'i yang menjelaskan hal itu". Ibn Hajr al-'Asqalani (852H) juga menjelaskan dalam
kitab
Fathul Bari bahwa wanita itu adalah saudara kandung (setara)
laki-laki dalam hukum, kecuali jika ada pengkhususan.
Konstruksi tatanan kehidupan dalam
Islam, baik sosial, keluarga maupun politik, telah melahirkan para
generasi-generasi yang hebat pada zamannya, yang tak sekedar terintegrasi
kamampuan intelektualitas namun akhlak dan adab yang agung, hal ini berbeda
dengan kehidupan barat yang sekilas melahirkan generasi-generasi yang hebat
secara intelktualitas, namun jauh dari moralitas, akhlak dan adab yang mulia.
Hal ini terlihat dalam kehidupan remaja Barat yang sangat problematis, karena
orang tua dalam budaya Barat dan budaya lain memiliki perbedaan, sebagaimana
yang dikemukakan oleh Epstein, seorang psikolog Amerika. Titik perbedaan
tersebut terlihat dalam pola pengasuhan anak, pengaruh hubungan suami-istri
yang tidak harmonis dan sebagainya. Maka, betapa lucunya, jika pola kehidupan
Barat yang telah terinfeksi virus kesetaraan Gender, ingin diterapkan di negeri
ini. lebih lanjut, Epstein, menegaskan dalam hasil penelitiannya, meningkatknya
sikap kebarat-baratan di Negara seperti India, Afrika Sub-Sahara, Asia Tenggara
dan sebagian besar Jazirah Arab, telah menyebabkan meningkatnya kegelisahan
remaja.
Reiterpretasi makna simbologi Medusa,
dari simbol kejahatan dan kegelapan ke simbol perlawanan kaum perempuan
terhadap laki-laki, secara substantif bukan menjadikan perempuan ditakuti oleh
kaum laki-laki, malah sebaliknya kaum laki-laki merasa tertantang, sebagaimana
gambaran Susan Faludi, seorang feminis Amerika, You Want Freedom? I Give You
Freedom. Akhirnya, pergolakan kemarahan kaum perempuan untuk menafikan female
modesty, demikian istilah Ratna Megawangi, tak akan pernah berhasil, sebab
jika kaum Feminis ingin setara dengan kaum laki-laki dalam rasio 50:50, maka
sesungguhnya, mereka-kaum perempuan- telah berupaya membunuh fitrah kodratinya
sendiri. Sungguh mustahil membunuh potensi dasar yang telah dititipkan Tuhan, hatta
tangan-tangan kaum Behavioristik pun tak akan mampu merubahnya- berikan kami
seorang anak, maka kami akan membentuknya sesuai keinginan kami-. Akhirnya, makna
dasar Medusa, sebagai simbol kejahatan, keseraman dan kegelapan tidak akan
pernah tergantikan. Penisbahan simbologi Medusa- sebagai simbol
perlawanan- dalam intepretasi Andrea
Juno dan V. Vale bukan menjadikan kaum perempuan menjadi mulia dan dihormati kaum
Adam, malah sebaliknya, reaksi kaum feminis telah mendatangkan murka Allah dan
telah membentuk pandangan negatif kaum laki-laki terhadap eksistensi perempuan
itu sendiri; menakutkan, seram dan menjijikkan, sebagaimana wujud asli Medusa. Wallahu
‘alam.
Mara’ji:
Adian
Husaini, Wajah Peradaban Barat, Dari Hegemoni Kristen ke Dominasi
Sekular-Liberal, 2005
-----------------,
Liberalisasi Islam di Indonesia, (Makalah: disampaikan dalam Acara Rakorda Majelis Ulama se-Jawa dan
Lampung, di Serang Banten 11 Agustus, 2009)
Danielle
Crittenden, Wanita Salah Langkah?: Mengguggat Mitos-Mitos Kebebasan Wanita Modern, 2002.
Marzdedeq, Jaringan Gelap Freemasonry,
Sejarah dan Perkembangannya Hingga ke Indonbesia,
2007.
Scott
O. Lilienfeld,et all, 50 Mitos Keliru dalam Psikologi, 2010.