Jumat, 22 Juni 2012

MEDUSA



Medusa (Μέδουσα ) merupakan tokoh wanita berambut ular, berparas menyeramkan dalam mitologi Yunani (diyakini juga sebagai simbologi Mason), yang membuat orang menjadi batu jika menatap wajahnya.
            Hampir ribuan abad lamanya, interpretasi kejahatan dalam simbol miotologi Medusa masih menjadi preseden buruk dalam masyarakat Eropa, akan tetapi, di era ’60-an, berawal dari gerakan para kaum wanita, yang mengatasnamakan gerakan pembebasan-gerakan Gender- yang terlatar belakangi oleh perlakuan diskriminitif oleh kaum Adam (Patriarki) yang selalu mengekang dan mendominasi kaum perempuan atas nama nature (kodrat alam) dan atas nama ketaatan religiusitas, yang terjadi sepanjang rentang sejarah dalam kehidupan di Eropa (Barat). Hal ini kemudian memaksa pena dan tinta para feminis Barat bergerak seiring gerakan langkah kaki dan suara yang mengisi ruang-ruang seminar dan jalanan-jalanan di Eropa. Hanya satu yang mereka perjuangakan, yaitu kesetaraan dan keadilan Gender. Medusa, yang awalnya disimbolkan sebagai wujud kejahatan dan kegelapan mengalami reintepretasi secara signifikan. Adalah Andrea Juno dan V. Vale, menerbitkan sebuah buku yang berjudul Angry Women, bersampul simbologi Medusa. Ditangan keduanya, simbol kejahatan yang ternisbahkan pada Medusa berubah makna menjadi simbol kemarahan dan perlawanan (Rebellion) kaum feminis terhadap kaum Laki-laki. Gerakan-gerakan kaum feminis -dalam frame Medusa- berupaya menghipnotis dan membunuh hegemoni dan otoritas kaum laki-laki atas perempuan di Barat terus berlanjut. Kritikan-kritikan tajam kaum feminis bukan saja menyerang kaum laki-laki, bahkan kaum Hawa yang menentang ide para feminis sendiri pun tak luput dari tebasan logika mereka. Seperti Germaine Greer, seorang Feminis tahun ’70-an, menegaskan “Hanya ada dua jenis wanita di dunia ini, yaitu kalau bukan feminis berarti kaum Masokhis.” Berbeda dengan Greer, Cassie E. Carter, mengubah bait puisi In Memoriam, karya Alfred L. Tennyson, “Nature, red in tooth and claw” menjadi “ Woman, red in tooth and claw.  Betty Friedan, seorang tokoh feminis, pendiri Organisasi Wanita Nasional Amerika (NOW), dalam bukunya yang berjudul The Feminine Mystique, menguraikan kehidupan “menyedihkan” kaum wanita Amerika yang dituntut untuk memenuhi peranannya hanya memenuhi kebutuhan suami dan anak-anak. Dan, sederetan nama-nama besar kaum feminis yang mengekspresikan kemarahan a la Medusa untuk mematungkan hegemoni peran sosial kaum Adam terhadap kaum perempuan.
            Menurut Ratna Megawangi, dalam pengantar buku Danielle Crittenden, mengemukakan bahwa,  Bagi kaum Feminis, budaya patriarki bukanlah wujud nature (kodrat alam) tapi  merupakan nurture (norma budaya) yang telah terkonstruk berabad-abad silam kemudian terlembagakan dalam pranata sosial. Asumsi demikian mendorong kaum feminis Barat meyakini bahwa peran gender bisa saja diubah melalui transformasi sosial. Danielle Crittenden, dalam bukunya yang berjudul, What Our Mothers Didn’t Tell Us: Why Happiness Eludes the Modern Women, menguraikan keberhasilan kaum feminis Barat yang telah berhasil melakukan transformasi sosial, dimana, budaya Patriarkat telah mengalami pergesaran ke budaya egaliter (Modernisme).
            Saat ini, perjuangan kaum feminis Barat terbilang telah berhasil, meskipun masih ada kritikan-kritikan para anti-feminis, seperti Danielle Critteinden, Midge Decter, Christina Hoff Sommers, dan masih banyak lagi. Namun, gagasan-gagasan kesetaraan Gender yang termasturbasi dari pemikiran kaum feminis Barat, kini telah mengglobal, melintasi batas-batas Negara dan benua. Dan, alangkah lucunya, ide-ide itu kini terlabuh dan terdengar nyaring di negeri-negeri kaum muslimin, salah satunya adalah negeri kita ini, Indonesia, yang secara historical tidak memiliki problematika konstelasi kehidupan keluarga yang serupa dengan Barat. Lakonan kemarahan a la Medusa menghantar para aktivis feminis men-tasyabbuhi nalar para feminis Barat. Menggugat sistem pranata sosial dan teks-teks kitab Suci. Tahun 2004, Pusat Studi Wanita UIN Yogyakarta. Menerbitkan buku berjudul, Isu-Isu Gender dalam Kurikulum Pendidikan Dasar dan Menengah, terkemukakan bahwa “Sudah menjadi keprihatinan bersama bahwa kedudukan kaum perempuan dalam sejarah peradaban dunia, secara umum, dan peradaban Islam, secara khusus, telah dan sedang mengalami penindasan. Mereka tertindas oleh sebuah rezim laki-laki…”
            Bahkan  lebih dari itu, para aktivis KKG, seperti Prof. Musdah Mulia dan Gadis Arivia, secara terang-terangan mendukung perilaku Lesbianisme dan Homonisme yang secara jelas bertentangan dengan Aqidah Islam, norma budaya Indonesia dan fitrawi normalitas manusia, sebagaimana yang dikutip Ustadz Adian Husaini, dalam Makalah yang disampaikan dalam acara Rakorda Majelis Ulama se-Jawa dan Lampung di Banten, 2009. Sebuah gagasan yang berani namun kebablasan. Bahkan lebih jauh lagi, saat para aktivis KKG, saat ini sedang berupaya melegalkan Undang-Undang Kesetaraan dan Keadilan Gender. 50:50, mungkingkah?
            Berbeda dengan Barat –yang terbentuk dalam kungkungan worldview materialistik- Islam memiliki cara pandang tersendiri dalam menempatkan perempuan dalam sistem kehidupan sosial maupun kehidupan keluarga. Henri Shalahuddin, peneliti INSISTS yang concern dalam masalah Gender, dalam artikelnya yang berjudul Di Balik Politik Kesetaraan Gender, mengemukakan bahwa, Islam datang untuk membebaskan perempuan dari belenggu ketidakadilan, eksploitasi, marjinalisasi dan diskriminasi.
            "Barangsiapa yang mengerjakan amal-amal saleh, baik laki-laki maupun wanita sedang ia orang yang beriman, maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya sedikitpun" (QS. 4:124).
            Lebih lanjut, beliau mengutip perkataan Imam Ibn Rusyd (595H/1198M) dalam kitabnya Bidayatul Mujtahid, menjelaskan: "Laki-laki dan perempuan itu setara, karena pada awalnya hukum keduanya adalah satu, sampai ditetapkannya pengecualian syar'i yang menjelaskan hal itu".  Ibn Hajr al-'Asqalani (852H) juga menjelaskan dalam kitab Fathul Bari bahwa wanita itu adalah saudara kandung (setara) laki-laki dalam hukum, kecuali jika ada pengkhususan.
            Konstruksi tatanan kehidupan dalam Islam, baik sosial, keluarga maupun politik, telah melahirkan para generasi-generasi yang hebat pada zamannya, yang tak sekedar terintegrasi kamampuan intelektualitas namun akhlak dan adab yang agung, hal ini berbeda dengan kehidupan barat yang sekilas melahirkan generasi-generasi yang hebat secara intelktualitas, namun jauh dari moralitas, akhlak dan adab yang mulia. Hal ini terlihat dalam kehidupan remaja Barat yang sangat problematis, karena orang tua dalam budaya Barat dan budaya lain memiliki perbedaan, sebagaimana yang dikemukakan oleh Epstein, seorang psikolog Amerika. Titik perbedaan tersebut terlihat dalam pola pengasuhan anak, pengaruh hubungan suami-istri yang tidak harmonis dan sebagainya. Maka, betapa lucunya, jika pola kehidupan Barat yang telah terinfeksi virus kesetaraan Gender, ingin diterapkan di negeri ini. lebih lanjut, Epstein, menegaskan dalam hasil penelitiannya, meningkatknya sikap kebarat-baratan di Negara seperti India, Afrika Sub-Sahara, Asia Tenggara dan sebagian besar Jazirah Arab, telah menyebabkan meningkatnya kegelisahan remaja.
            Reiterpretasi makna simbologi Medusa, dari simbol kejahatan dan kegelapan ke simbol perlawanan kaum perempuan terhadap laki-laki, secara substantif bukan menjadikan perempuan ditakuti oleh kaum laki-laki, malah sebaliknya kaum laki-laki merasa tertantang, sebagaimana gambaran Susan Faludi, seorang feminis Amerika, You Want Freedom? I Give You Freedom. Akhirnya, pergolakan kemarahan kaum perempuan untuk menafikan female modesty, demikian istilah Ratna Megawangi, tak akan pernah berhasil, sebab jika kaum Feminis ingin setara dengan kaum laki-laki dalam rasio 50:50, maka sesungguhnya, mereka-kaum perempuan- telah berupaya membunuh fitrah kodratinya sendiri. Sungguh mustahil membunuh potensi dasar yang telah dititipkan Tuhan, hatta tangan-tangan kaum Behavioristik pun tak akan mampu merubahnya- berikan kami seorang anak, maka kami akan membentuknya sesuai keinginan kami-. Akhirnya, makna dasar Medusa, sebagai simbol kejahatan, keseraman dan kegelapan tidak akan pernah tergantikan. Penisbahan simbologi Medusa- sebagai simbol perlawanan- dalam intepretasi  Andrea Juno dan V. Vale bukan menjadikan kaum perempuan menjadi mulia dan dihormati kaum Adam, malah sebaliknya, reaksi kaum feminis telah mendatangkan murka Allah dan telah membentuk pandangan negatif kaum laki-laki terhadap eksistensi perempuan itu sendiri; menakutkan, seram dan menjijikkan, sebagaimana wujud asli Medusa. Wallahu ‘alam.


Mara’ji:
Adian Husaini, Wajah Peradaban Barat, Dari Hegemoni Kristen ke Dominasi Sekular-Liberal, 2005
-----------------, Liberalisasi Islam di Indonesia, (Makalah: disampaikan dalam Acara            Rakorda Majelis Ulama se-Jawa dan Lampung, di Serang Banten 11 Agustus, 2009)
Danielle Crittenden, Wanita Salah Langkah?: Mengguggat Mitos-Mitos Kebebasan            Wanita Modern, 2002.
Marzdedeq, Jaringan Gelap Freemasonry, Sejarah dan Perkembangannya Hingga ke       Indonbesia, 2007.
Scott O. Lilienfeld,et all, 50 Mitos Keliru dalam Psikologi, 2010.

Selasa, 31 Januari 2012

TUBUH-TUBUH YANG TERINTERVENSI



 Setelah sekian lama hidup dalam kungkungan kegelapan dominasi gereja, maka pada abad 19 para pemikir-pemikir barat yang atheistic dan liberalis-sekularis memberanikan diri untuk mendobrak tradisi konservatif yang egoistic kaum gerejawan. Maka pada masa itu lahirlah sebuah masa atau era di Eropa (barat) yang dikenal dengan masa pencerahan (enlightment/aufklarung). Dari sinilah gagasan tentang konsep globalisasi mulai digulirkan dan sampai hari ini kita masih berada dalam lingkarannya.
Globalisasi kini telah menjadi bagian dari masyarakat dunia. Laju arus globalisasi kian deras dan sarat berbagai nilai-nilai yang berdampak secara positif maupun negatif bagi umat manusia. Globalisasi yang selalu diidentikan dengan modernisme telah dianggap menjadi sebuah keniscayaan pandangan hidup atau world view yang ideal bagi peradaban manusia. Peradaban yang dimaksud adalah peradaban yang scientific yang didukung oleh kecanggihan teknologi informasi. Perlu diakui bahwa modernisme telah memberikan kontribusi positif terhadap perkembangan dunia. Misalnya, adanya pesawat terbang yang memperpendek jarak, handphone yang mempu memberikan kemudahan komunikasi dan berbagai manfaat lainnya. Akan tetapi dibalik sisi positifnya, globalisasi atau modernisme telah membawa peradaban umat manusia kedalam kehancuran yang nyata terutama kehancuran moralitas (akhlak). Hal ini dapat terlihat pada kenyataan kekinian, sebagian besar remaja di negeri ini hampir kehilangan identitas diri. Proses pencarian jati diri tanpa dibentuk basic pendidikan yang matang telah melahirkan kerapuhan iman dan akhlak. Kondisi demikian membuat para remaja menjadi lemah dalam menghadapi derasnya arus globalisasi yang sarat dengan budaya-budaya barat yang menghinakan. Bangsa dan Negara kita yang memiliki nilai-nilai budaya yang bermoral dan akhlaki kini bagaikan jaring laba-laba yang diterpa hujan. Kearifan local budaya bangsa telah mengalami pergesaran nilai yang cukup jauh. tingkat kesadaran terhadap budaya sangat rendah, oleh karena itu jangan heran bila bangsa ini mudah dijajajah, diintervensi dan dikuasai.

Minggu, 29 Januari 2012

QALBU, RAJA BAGI JIWA



            Ketahuilah, di dalam tubuh manusia terdapat segumpal daging. Bila ia baik maka baik pulalah seluruh tubuh. Dan, apabila dia rusak maka rusak pulalah seluruh tubuh. Ketahuilah itu adalah Qalbu. (HR. Bukhari-Muslim)
            Hadits di atas mengisyaratkan bahwa Qalbu memiliki peran sentral bagi individu. Sehingga, Qalbu sering diibaratkan sebagai Raja bagi jiwa (jasadiyyah maupun ruhaniyyah). Laiknya pemimpin, kelak Qalbu juga akan dimintai pertanggung jawabannya oleh Allah atas segala yang telah mewarnainya. Allah Swt berfirman,
            Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati (fuad), semuanya akan dimintai pertanggungjawaban. (Q.S Al Isra’: 36)
            Imam Al Ghazali membagi Qalbu dalam dua jenis, yaitu Qalbu secara fisik (materi) dan Qalbu secara psikis (spiritual). Qalbu fisik biasanya dikenal dengan sebutan jantung yang merupakan salah satu organ vital dalam tubuh manusia, sedangkan Qalbu Spiritual bersifat abstrak yang berkedudukan dalam Ruh.

Kepribadian Kaum Sekularis dalam Perspektif Psikopatologi Islam


Dalam literatur Psikologi Islam, gagasan liberal ternyata bukan saja terkait problematika pemikiran, namun juga mental. Mental yang sakit akan membuat seseorang mudah terjebak dalam corak berfikir menyimpang. Artinya mental yang kuat akan sangat menentukan untuk membantuk iman yang sehat.

Profesor Syamsu Yusuf adalah Guru Besar Bimbingan dan Konseling Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung yang sangat concern mengkaji hal itu. Tidak hanya itu, Prof. Syamsu juga merupakan salah satu pakar yang memfokuskan diri untuk mengkaji masalah Mental Hygiene (Kesehatan Mental) khususnya dalam frame atau perspektif Islam.

Di tengah kesibukannya, aktivis Institut Pemikiran Islam dan Pembangunan Insan (PIMPIN), Rushdie Kasman, berhasil mewawancarai Prof. Syamsu (panggilan akrab) tentang kepribadian sekularis dalam perspektif Psikopatologi Islam.

Sabtu, 28 Januari 2012

Prof. Dr. Malik Badri: Psikologi Modern Tidak Netral


Lebih dari setengah abad menggeluti psikologi modern, pakar bernama lengkap Malik Babikir Badri ini dikenal luas lewat bukunya The Dilemma of Muslim Psychologists. Ketidakselektifan psikolog muslim, menurutnya, telah menyebabkan mereka mengikuti pola pikir dan pendekatan kaum Yahudi dan Kristen, meskipun cara itu berkualitas rendah dan tidak islami. Persis seperti dinyatakan  oleh Rasulullah saw dalam sebuah hadis: “… bahkan jika mereka masuk ke dalam lubang biawak pun, orang Islam tanpa pikir panjang akan mengikutinya.” Yakni mengambil bulat-bulat psikologi Barat modern dan menerapkannya di dunia Islam.

Prof. Malik Badri lulus dari American University of Beirut tahun 1956, meraih doktor dari Universitas Leicester, Inggris 1961, dan mengantongi gelar profesor sejak 1971. Namanya tercatat sebagai Fellow dan Chartered Psychologist, British Psychological Society, anggota dewan pakar UNESCO, dan pendiri sekaligus presiden International Association of Muslim Psychologists. Kini ia tercatat sebagai pengajar di Universitas Islam Internasional Malaysia. 
Di tengah beragam kesibukannya, pria asal Sudan kelahiran 16 Februari 1932 dan ayah tujuh anak ini, Senin (7/9) petang lalu menerima wartawan Islamia, Dr. Syamsuddin Arif,  di kantornya, di kampus Universitas Islam Internasional  Malaysia (IIUM) Gombak, Kuala Lumpur. 

Apa yang melatari Anda menjadi ahli psikologi?
Awalnya saya ingin kuliah bidang farmasi. Namun, setelah mengambil mata kuliah psikologi, minat saya berubah. Apalagi waktu itu – tahun 1950-an -- psikologi sebagai disiplin tersendiri sama sekali belum dikenal. Di negara-negara Arab ketika itu psikologi hanya diajarkan sebagai cabang dari ilmu pendidikan. Kemudian secara pribadi sebagai Muslim saya juga tertarik untuk memahami ajaran agama saya terutama yang berkaitan dengan sains modern. Saya pikir, orang Islam harus belajar psikologi agar bisa menanggulangi berbagai krisis sosial yang diimpor dari Barat. Dua hal itulah yang mendorong saya untuk menekuni psikologi. 

Psikologi Dalam Islam


Sejarah keilmuan Islam yang gemilang mencatat tiga corak pendekatan dalam memahami jiwa manusia. Pertama, pendekatan Qur’ani-Nabawi dimana jiwa manusia dipahami dengan merujuk pada keterangan kitab suci al-Qur’an dan hadis-hadis Rasulullah saw. Perbincangannya berkisar sifat-sifat universal manusia (syahwat kepada lawan jenis, properti, uang, fasilitas mewah, takut mati, takut kelaparan, pongah, pelit, korup, gelisah, mudah frustrasi), sebab maupun akibatnya (lupa kepada Allah, kurang berzikir, ikut petunjuk syaitan, tenggelam dalam hawa nafsu, hidup merana dan mati menyesal, di akhirat masuk neraka), dan beberapa karakter jiwa (nafs): yang selalu menyuruh berbuat jahat (ammarah bis-su’), yang senantiasa mengecam (al-lawwamah) dan yang tenang damai (al-mutma’innah). Perspektif ini diwakili oleh tokoh-tokoh semisal Ibn Qayyim al-Jawziyyah (w. 1350). Dalam kitabnya ar-Ruh, misalnya, diterangkan bagaimana ruh menjalar di tubuh manusia yang memungkinkannya bergerak, merasa, dan berkehendak. Ruh orang mati itu wujud dan merasakan siksa di alam kubur sekalipun jasadnya hancur. 

Profil Psikolog Muslim: Abu Zaid al-Balkhi



Abu Zayd al-Balkhi (235H322H/849M-934M) yang memiliki nama asli Ahmad ibn Sahl adalah pakar multi disiplin ilmu pengetahuan (polymath)Muhammad ibn Ishaq Abul Faraj al-Nadim atau lebih dikenal dengan Ibn al-Nadim, dalam kitabnya al-Fihrist menyebutkan bahwa al-Balkhi memiliki 41 karya dalam berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Diantaranya di bidang'Ulum al-Qur'anKalam, matematika, geografi, kedokteran, ilmu jiwa, perbandingan agama, politik, sejarah, linguistik, astronomi, sastera dan filsafat. Namun dari karya-karyanya itu, hanya dua kitab yang sampai pada kita, kitab suwar al-aqalim di bidang geografi danmasalih al-abdan wa l-anfus di bidang psikologi.
Al-Balkhi lahir di Syamistiyan, wilayah Balkh (Bactra) dan kini berada di Afghanistan. Ayahnya adalah seorang guru anak-anak. Al-Balkhi tumbuh dewasa dan tinggal di Baghdad selama 8 tahun, di saat kekuasaan Daulah Abbasiyah sudah merosot dan hanya meliputi Baghdad dan sekitarnya. Pada masanya timbul kekacauan politik, sehingga kerusuhan bermunculan di mana-mana.
Namun demikian, kondisi negara yang carut marut di zaman al-Balkhi bukanlah penghalang bagi para ulama untuk mendedikasikan umurnya dalam melanjutkan tradisi ilmu. Bahkan dalam suasana seperti itu bermunculan sejumlah cendekiawan, di antaranya adalah Abu Zayd al-Balkhi.