Sabtu, 28 Januari 2012

Prof. Dr. Malik Badri: Psikologi Modern Tidak Netral


Lebih dari setengah abad menggeluti psikologi modern, pakar bernama lengkap Malik Babikir Badri ini dikenal luas lewat bukunya The Dilemma of Muslim Psychologists. Ketidakselektifan psikolog muslim, menurutnya, telah menyebabkan mereka mengikuti pola pikir dan pendekatan kaum Yahudi dan Kristen, meskipun cara itu berkualitas rendah dan tidak islami. Persis seperti dinyatakan  oleh Rasulullah saw dalam sebuah hadis: “… bahkan jika mereka masuk ke dalam lubang biawak pun, orang Islam tanpa pikir panjang akan mengikutinya.” Yakni mengambil bulat-bulat psikologi Barat modern dan menerapkannya di dunia Islam.

Prof. Malik Badri lulus dari American University of Beirut tahun 1956, meraih doktor dari Universitas Leicester, Inggris 1961, dan mengantongi gelar profesor sejak 1971. Namanya tercatat sebagai Fellow dan Chartered Psychologist, British Psychological Society, anggota dewan pakar UNESCO, dan pendiri sekaligus presiden International Association of Muslim Psychologists. Kini ia tercatat sebagai pengajar di Universitas Islam Internasional Malaysia. 
Di tengah beragam kesibukannya, pria asal Sudan kelahiran 16 Februari 1932 dan ayah tujuh anak ini, Senin (7/9) petang lalu menerima wartawan Islamia, Dr. Syamsuddin Arif,  di kantornya, di kampus Universitas Islam Internasional  Malaysia (IIUM) Gombak, Kuala Lumpur. 

Apa yang melatari Anda menjadi ahli psikologi?
Awalnya saya ingin kuliah bidang farmasi. Namun, setelah mengambil mata kuliah psikologi, minat saya berubah. Apalagi waktu itu – tahun 1950-an -- psikologi sebagai disiplin tersendiri sama sekali belum dikenal. Di negara-negara Arab ketika itu psikologi hanya diajarkan sebagai cabang dari ilmu pendidikan. Kemudian secara pribadi sebagai Muslim saya juga tertarik untuk memahami ajaran agama saya terutama yang berkaitan dengan sains modern. Saya pikir, orang Islam harus belajar psikologi agar bisa menanggulangi berbagai krisis sosial yang diimpor dari Barat. Dua hal itulah yang mendorong saya untuk menekuni psikologi. 

Psikologi Dalam Islam


Sejarah keilmuan Islam yang gemilang mencatat tiga corak pendekatan dalam memahami jiwa manusia. Pertama, pendekatan Qur’ani-Nabawi dimana jiwa manusia dipahami dengan merujuk pada keterangan kitab suci al-Qur’an dan hadis-hadis Rasulullah saw. Perbincangannya berkisar sifat-sifat universal manusia (syahwat kepada lawan jenis, properti, uang, fasilitas mewah, takut mati, takut kelaparan, pongah, pelit, korup, gelisah, mudah frustrasi), sebab maupun akibatnya (lupa kepada Allah, kurang berzikir, ikut petunjuk syaitan, tenggelam dalam hawa nafsu, hidup merana dan mati menyesal, di akhirat masuk neraka), dan beberapa karakter jiwa (nafs): yang selalu menyuruh berbuat jahat (ammarah bis-su’), yang senantiasa mengecam (al-lawwamah) dan yang tenang damai (al-mutma’innah). Perspektif ini diwakili oleh tokoh-tokoh semisal Ibn Qayyim al-Jawziyyah (w. 1350). Dalam kitabnya ar-Ruh, misalnya, diterangkan bagaimana ruh menjalar di tubuh manusia yang memungkinkannya bergerak, merasa, dan berkehendak. Ruh orang mati itu wujud dan merasakan siksa di alam kubur sekalipun jasadnya hancur. 

Profil Psikolog Muslim: Abu Zaid al-Balkhi



Abu Zayd al-Balkhi (235H322H/849M-934M) yang memiliki nama asli Ahmad ibn Sahl adalah pakar multi disiplin ilmu pengetahuan (polymath)Muhammad ibn Ishaq Abul Faraj al-Nadim atau lebih dikenal dengan Ibn al-Nadim, dalam kitabnya al-Fihrist menyebutkan bahwa al-Balkhi memiliki 41 karya dalam berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Diantaranya di bidang'Ulum al-Qur'anKalam, matematika, geografi, kedokteran, ilmu jiwa, perbandingan agama, politik, sejarah, linguistik, astronomi, sastera dan filsafat. Namun dari karya-karyanya itu, hanya dua kitab yang sampai pada kita, kitab suwar al-aqalim di bidang geografi danmasalih al-abdan wa l-anfus di bidang psikologi.
Al-Balkhi lahir di Syamistiyan, wilayah Balkh (Bactra) dan kini berada di Afghanistan. Ayahnya adalah seorang guru anak-anak. Al-Balkhi tumbuh dewasa dan tinggal di Baghdad selama 8 tahun, di saat kekuasaan Daulah Abbasiyah sudah merosot dan hanya meliputi Baghdad dan sekitarnya. Pada masanya timbul kekacauan politik, sehingga kerusuhan bermunculan di mana-mana.
Namun demikian, kondisi negara yang carut marut di zaman al-Balkhi bukanlah penghalang bagi para ulama untuk mendedikasikan umurnya dalam melanjutkan tradisi ilmu. Bahkan dalam suasana seperti itu bermunculan sejumlah cendekiawan, di antaranya adalah Abu Zayd al-Balkhi.